Pasien Tuberkulosis (TBC) membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik itu keluarga, lingkungan hingga pemerintah. Namun, diskriminasi dan stigma negatif masih saja dialami oleh para pasien maupun penyintas TBC.
Hal ini yang membuat Michael Bryandito Mahartom mendirikan Yayasan Penyintas Tuberkulosis TERBESAR (Terus Bersama-sama Berjuang) Yogyakarta. Pria yang akrab disapa Bryan merupakan seorang penyintas TBC resisten obat (RO). Ia pun sempat mendapat diskriminasi dan dikucilkan oleh lingkungan saat sakit beberapa tahun lalu.
Setelah sembuh, ia mendirikan Yayasan Terbesar, agar tak ada lagi pasien TBC yang mendapat stigma negatif di masyarakat dan dapat saling menguatkan hingga dinyatakan sembuh. Lebih lanjut Bryan menceritakan, tak hanya dirinya yang dikucilkan, bahkan satu keluarga pun mendapatkan perlakuan yang sama. Pasalnya satu keluarganya juga menderita penyakit yang sama.

“Saya seorang penyintas, bahkan satu keluarga kena TBC, semua dari kakak saya pertama, kemudian menularkan ke kakak saya kedua, ayah saya yang akhirnya meninggal karena TBC, kemudian saya juga kena saat kuliah,” ujarnya.
Kakak pertamanya terkena TBC pada tahun 2010. Saat itu kakaknya tidak tuntas melakukan pengobatan karena harus nyambi kerja.
“Kakak saya merasa badannya udah enakan, kemudian berhenti pengobatan, kemudian di tahun 2012 dinyatakan TBC RO,” imbuhnya.
Menurutnya, alasan lain mengapa kakaknya berhenti pengobatan lantaran kakaknya merasa dikucilkan, bahkan ketika akan mencari obat di layanan kesehatan.
“Kakak saya harus minum obat jam 9, tapi disuruh datang jam 12. Dan obatnya ditaruh di meteran listrik. Sampai di rumah, ternyata juga tidak di minum, dari sana kemudian menularkan anggota keluarga lain,” tuturnya.
Karena rumahnya yang tertutup, sinar matahari kurang dan sirkulasi udara tidak lancar, hal itu menyebabkan kakak keduanya dan ayahnya tertular.
Di tahun 2014, ayahnya meninggal karena penyakit TBC tersebut. Baru dua tahun setelahnya, Bryan divonis tertular TBC RO. Dalam kondisi tersebut, Bryan yang masih menempuh kuliah di semester empat pun merasa mentalnya jatuh. Terlebih almarhum ayahnya bekerja di dinas kesehatan, dan ibunya bekerja di puskesmas.
“Itu yang membuat kami down, karena semua bekerja di bidang kesehatan, tetapi kok semua kena TBC,” ujarnya.
Pengalaman dikucilkan pun juga dirasakan oleh Bryan. Suatu ketika ia harus ke puskesmas untuk pengobatan, dan bertemu tetangganya.
“Saat berhadapan, tetangga langsung lari, tutup hidung. Serasa sampah masyarakat sekali,” tuturnya.
Namun perlakuan yang diterima tidak lantas membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan. Ia pun bertekad untuk sembuh dan semangat dalam menjalani pengobatan. Hingga akhirnya ada tetangga di rumah yang menerima keadaan Bryan dan keluarga dan memberi dukungan. Tetangga tersebut pun juga mendorong tetangga lain untuk bersama-sama memberi dukungan kepada Bryan dan keluarga.
Mendapat dukungan tersebut, Bryan pun terus berusaha untuk sembuh dengan disiplin berobat dan tidak putus pengobatan hingga akhirnya dinyatakan sembuh oleh dokter.
“Dari situ, ternyata membuktikan bahwa peran masyarakat di sekitar sangat penting untuk kesembuhan teman-teman pasien,” ucapnya.
Bryan sembuh di tahun 2017, dan setahun setelahnya ia ke Jakarta untuk menghadiri kegiatan yang digelar oleh Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Indonesia. Dari pengalaman dan pembelajaran bersama penyintas TBC di Jakarta, membuatnya ingin membuat komunitas yang sama di Yogyakarta.
“Di tahun 2019 saya awalnya mendirikan komunitas, bersama teman-teman yang berjuang bersama di rumah sakit. Kemudian berkembang, di tahun 2021 kami dilegalitaskan menjadi yayasan,” paparnya.
Melalui Yayasan Terbesar dirinya berkomitmen untuk mendukung pasien TBC memberi penguatan ketika ada pasien yang mendapat diskriminatif di masyarakat, hingga akhirnya pasien tersebut dapat menyelesaikan pengobatan mereka.
“Kami ingin menguatkan mental pasien sampai bisa menyelesaikan pengobatan,” tandasnya.
Ia pun berpesan kepada pasien TBC termasuk TBC RO (resisten obat) untuk tetap bersemangat dan jangan putus asa.
“Kalau memang dikucilkan tidak perlu dipikirkan, yang penting kesembuhan terlebih dahulu, nanti kalau sembuh orang akan melihat dan diterima masyarakat. Untuk masyarakat juga jangan jauhi orang yang menderita TBC, karena dia tidak meminta untuk sakit. Tetapi harapannya didukung sampai sembuh dan tidak menularkan ke keluarga dan tetangga sekitar.”
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Cerita Bryan, Penyintas TBC yang Sempat Dikucilkan Namun Bangkit dan Mendirikan Yayasan Terbesar, https://jogja.tribunnews.com/2023/07/31/cerita-bryan-penyintas-tbc-yang-sempat-dikucilkan-namun-bangkit-dan-mendirikan-yayasan-terbesar?page=3.
Penulis: Santo Ari | Editor: Muhammad Fatoni